Selasa, 04 September 2012

Bahan paparan dan diskusi, 2007

Minyak Goreng,

Pemerintah dapat mengkaji kemungkinan penggunaan instrumen subsidi minyak goreng untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar dalam negeri, instrumen subsidi merupakan salah satu alternatif selain pengenaan tambahan tarif pungutan ekspor namun salah satu kendala pemberian subsidi juga akan menambah beban APBN dan pola penganggaran yang biasanya memakan waktu sehingga pada tahun 2007 baru akan bisa di laksanakan pada APBN-P 2007 yaitu sekitar bulan september sampai desember 2007.

Pemerintah juga dapat mengenakan pola  DMO (kewajiban memasok pasar lokal) kepada para produsen minyak goreng namun hasil nya sampai saat ini kurang maksimal selama ini yang berperan dominan dalam bisnis minyak kelapa sawit ini adalah sektor swasta. Di mana sektor swasta pemain minyak goreng juga memprotes karena pada saat harga minyak goreng jatuh pada tahun 1998 pemerintah tidak memberikan bantuan apapun. Sangatlah sulit untuk mengatur para pengusaha minyak goreng walaupun sudah di undang oleh Wakil Presiden RI.

 Juga salah satu faktor dominan, harga menjadi tidak terjangkau bagi konsumen di dalam negeri karena pengaruh melesatnya harga CPO di pasar internasional. Harga patokan yang di tetapkan oleh pemerintah sulit untuk di taati oleh para produsen minyak goreng di karenakan faktor ekonomi sederhana bahwa mengekspor jauh lebih menguntungkan.

Berbeda dengan Malaysia yang mayoritas perkebunan dimiliki negara dan mereka bisa menjalankan subsidi langsung minyak goreng ke dalam negerinya tanpa harus melalui sistem anggaran negara.


Pemerintah juga menghadapi kendala karena para pengusaha besar minyak goreng adalah asing dalam hal ini adalah pengusaha dari Malaysia sehingga mereka bisa dan memiliki hak untuk melakukan pengolahan hasil usaha perusahaan dengan banyak landasan hukum. Karena beberapa perusahaan swasta nasional bidang sawit yang di beli oleh asing pada saat krisis moneter lalu.

Salah satu pengusaha sawit nasional adalah group salim yang di pasaran memiliki beberapa merk untuk minyak goreng rumah tangga menjadi wakil tidak resmi dalam undangan dialog pemerintah dengan swasta pengusaha minyak goreng. Kenaikan harga minyak goreng juga di curigai memicu kenaikan harga harga harga bahan bahan pokok di berbagai daerah.

Kemajuan perkebunan kelapa sawit sesungguhnya berkat dorongan pemerintah dengan segala perangkat kebijakannya, mulai kemudahan lahan hingga pembiayaan yang disubsidi juga dengan adanya program plasma dan program kemitraan pada saat era orde baru. Saat ini, Indonesia jadi eksportir CPO terbesar kedua di dunia dengan pangsa 37 persen. Malaysia masih menguasai 42 persen pasar internasional.

Kelapa sawit adalah "komoditas emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi, baik pangan maupun nonpangan. Dibanding Malaysia, dalam hal sawit Indonesia memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Pertama, Indonesia memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah.
namun , keunggulan itu belum digali maksimal dengan menjadikannya komoditas primadona dalam menangguk devisa sehingga bisa menjadi solusi masalah pengangguran dan kemiskinan. Industri sawit tidak mengalami kemajuan berarti. Di tingkat petani rakyat, sawit berhenti sebagai aktivitas budi daya yang bernilai tambah kecil. Industri hilir yang mengolah sawit didominasi minyak goreng serta sedikit margarin, sabun, dan detergen. Sebagian besar kita mengekspornya dalam bentuk CPO yang value added-nya kecil.

 
Selain mengekspor CPO, Malaysia mengolahnya menjadi berbagai produk hilir bernilai tinggi. Dampak kekurangan pabrik pengolah sawit di Indonesia tidak hanya pada daya saing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan CPO tanpa memiliki lahan sawit. Ini membuat jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik.


Perkebunan sawit kita merefleksikan kepentingan korporasi perkebunan besar. Pola pengembangannya menganut pola perkebunan berstruktur integrasi vertikal, yaitu pemilik pabrik pengolahan juga memiliki lahan perkebunan. Di sektor hilir, industri olevin dan minyak goreng hanya dikuasai satu-dua perusahaan besar dengan penguasaan pangsa pasar yang besar pula. Pengaruh kuat dari sekelompok pengusaha yang memegang monopoli industri hulu kelapa sawit membuat industri hilir sawit tidak berkembang. Bagi pendatang baru, struktur monopolis ini sama artinya dengan entry barrier. Karakter monopoli ini tak hanya membuat perusahaan tidak efisien.
 

Saran;

  1. pemegang kekuasaan harus segera memperbaiki mekanisme pengawasan implementasi kewajiban memasok pasar domestik atau domestik market obligation (DMO) pada minyak sawit mentah sehingga fluktuasi  harga minyak goreng curah domestik akan dapat lebih di kendalikan. Mekanisme pengawasan lebih baik tidak di serahkan pada birokrasi yang ada tapi pada lembaga yang lebih netral.
  2. kenaikan  pajak eksport  pada minyak goreng curah, CPO dan yang sejenis
  3. pemberian subsidi pada minyak goreng namun  dengan kendala ;
    1. siapa yang akan menanggung selisih harga dari subsidi pada minyak goreng ini yang kalau di bebankan pada APBN akan memakan waktu dan timing yang tidak tepat sehingga kemungkinan dapat di manfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
    2. Siapa yang berhak menerima subsidi ini dan bagaimana mekanisme dari pemberian subsidi ini akan di lakukan biasanya akan menjadi rumit dan panjang.
  4. kombinasi antara point 3 dan 4 yaitu pemerintah memberikan pajak eksport untuk minyak goreng curah atau CPO atau produk sejenis di mana hasil dari pajak ekport ini di pergunakan untuk subsidi minyak goreng di dalam negeri
  5. pemerintah membuat dan mendorong para usahawan di bidang kelapa sawit (tidak hanya pengusaha besar tapi UKKM) untuk meningkatkan industri turunan dari sawit sehingga Indonesia tidak lagi mengekpor bahan curah olahan hilir tetapi juga memiliki kemampuan pengolahan hulu dari sawit seperti sabun, kosmetik dan lainnya yang jelas memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

Ketahanan Pangan 

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.  Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan ,petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan.  Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.

Salah satu penyebab penurunan produksi pertanian antara lain karena tidak adanya rangsangan untuk meningkatkan produksi, karena rendahnya harga. harga beras juga kedelai terus tertekan amat rendah. (juga di sebabkan jumlah supplai yang bertambah karena produksi dalam negeri juga di karekan oleh import hasil pertanian dari negara lain, perlu di maklumi pada saat panen di Thailand mereka menjual hasil kelebihan panen dengan harga sangat murah dan di beli oleh di Indonesia dan biasanya saat barang datang juga saat panen sehingga menekan petani dalam negeri)

Produk ekspor pangan dari Indonesia juga mengalami tekanan di berbagai negara maju seperti Amerika dan Eropa dengan adanya berbagai regulasi regulasi yang mereka buat hal ini juga merupakan tekanan untuk produk pangan dari Indonesia.

Perlu pula kita cermati dan pahami bahwa masyarakat kita akhir-akhir ini, dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang meningkat semakin banyak mengkonsumsi roti dan mie, yang bahan bakunya gandum, bahan makanan yang belum dapat kita produksi sendiri. Jenis-jenis makanan Eropa/Amerika berupa roti, hamburger, serta makanan Jepang, kuat sekali merasuk ke masyarakat kita khususnya golongan berpenghasilan menengah tinggi. Akibatnya, setiap tahun kita mengimport gandum dalam jumlah yang cukup besar.

Sektor pertanian adalah sektor yang padat karya, angkatan kerja yang tersedia relatif banyak dan sebagian besar angkatan kerja   masih berpendidikan menengah kebawah, jadi relevan dengan pekerjaan agraria dan kelautan, tentunya melalui pelatihan ketrampilan agraria dan kelautan yang sesuai dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal, dibandingkan melakukan investasi berteknologi tinggi dan mahal, tetapi tidak bisa  menyerap tenaga kerja Indonesia karena padat modal, atau karena kualitas SDM yang tidak bisa menjangkau.

Kekurangan produk pangan, sebaiknya ditanggulangi bukan dengan cara proteksi terhadap harga gabah atau impor beras. Proteksi harga gabah yang dimaksudkan untuk melindungi petani produsen ternyata dinikmati para tengkulak/pedagang pengecer karena sebagian besar petani kita adalah petani gurem yang menggantungkan hidupnya pada kaum tengkulak. Sementara itu, impor beras akan menyebabkan sektor pertanian kita semakin tertekan karena proses birokrasi yang berbelit menyebabkan produk import beras tersebut masuk ke pasaran pada saat para petani sedang panen.

Kondisi pertanian di Indonesia lebih sering berbasiskan pada pemakaian anggaran sehingga komponen import menjadi lebih menarik. Pasar pertanian lebih banyak tidak di proteksi sehingga menjadi amat sangat rentan terhadap perubahan di luar.

Situasi baru baru ini seperti adanya kekeringan di Australia dan New Zealand yang membuat tersendatnya pengiriman bahan baku susu membuat kenaikan harga susu di dalam negeri menjadikan kepanikan pada konsumen namun membuat para produsen lokal kembali bergairah.

Produk pertanian segar Indonesia mempunyai prospek yang baik untuk diekspor ke negara-negara Eropa, Amerika, Jepang  dan Timur Tengah.  Permintaan dari negara-negara tersebut terhadap buah-buahan dan sayuran Indonesia seperti mangga, manggis, rambutan dan produk-produk eksotik lainnya termasuk produk-produk hasil perikanan cukup tinggi.

Untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek, butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi biokimia dan mekanisasi pertanian. Padahal ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit seperti yang dimiliki umumnya petani kita tersebut. Bayangkan, untuk penggunaan traktor baru menguntungkan untuk lahan di atas 5 ha, tentu akan menjadi tidak efisien dan tidak layak secara ekonomi jika diterapkan pada suatu usahatani dengan luas lahan kurang dari itu apalagi kalau luas lahannya 0,5 ha ke bawah.

Saran;

  • Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif
  • Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani.
  • Rantai pendingin diperlukan untuk menjaga mutu dan keamanan pangan dari produk segar Indonesia.  Sudah sering terjadi produk-produk pertanian kita ditolak di negara tujuan ekspor karena tingginya kandungan bakteri pathogen atau pembusuk.;  Pertumbuhan bakteri tersebut sebenarnya bias dihambat dengan penyimpanan atau pengiriman produk pada suhu yang tepat. Isu pentingnya rantai pendingin bukan hanya untuk produk yang diekspor tapi juga untuk produk-produk yang dipasarkan di pasar domestic seperti di supermarket dan pasar tradisional.  Adalah penting bagi supermarket maupun pasar tradisional mereka menyediakan fasilitas rantai pendingin dengan suhu yang tepat sesuai dengan karakteristik produk.  Hal ini penting sebagai upaya untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang dapat membahayakan konsumen. 
  • Mempromosikan produksi dan konsumsi aneka-ragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha.
  • Membuat dan membantu program standarisasi hasil yang sesuai dengan aturan global pada produk pangan seperti yang di lakukan oleh negara negara maju seperti Amerika dan Eropa sehingga hasil pertanian menjadi terbiasa dengan standar yang ada dan pada saat dapat di ekspor menjadi siap.
  • Sebaiknya pemerintah mensosialisasikan pangan tidak bergantung pada satu komoditi beras, mengandung resiko bahwa kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional. ke depan sebaiknya perlu meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian , tanaman pohon (sagu), serta bahan pangan berbasis biji-bijian seperti jagung yang dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi.
  • Pemerintah sebaiknya mendorong skala ekonomi (yg berkecukupan) produksi dari petani seperti yang di lakukan dahulu terhadap program transmigrasi di mana petani menggarap lahan pertanian sekitar 4 ha. Sehingga profesi pertanian menjadi profesi yang mengiurkan secara ekonomi bagi kaum muda. Untuk lahan pengalaman saya pribadi berkeliling daerah di Indonesia sebetul banyak sekali lahan yang kosong seperti di Sumatra, Bangka Belitung, Kalimantan lahan lahan terlantar tersebut hanya di tumbuhi oleh ilalang karena pohon pohon besar nya telah di tebang oleh pengusaha HPH.

 

Popular Posts

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Blog Saya